Notification

×

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Membongkar Konflik Kepentingan di Balik Pendanaan Pilkada

Selasa, Oktober 29, 2024 | 02.14 WIB | 0 Views Last Updated 2024-10-28T18:19:55Z

 

Ilustrasi politik uang, jual beli suara pemilu (Photo: Istimewa) 

Realitynews.web.id – Kontestasi dalam pemilihan kepala daerah (pilkada) selalu terkait erat dengan besarnya dana yang diperlukan untuk kampanye. Angkanya sangat fantastis, bisa mencapai ratusan miliar rupiah. Dana ini seringkali berasal dari pendanaan pihak eksternal yang memiliki kepentingan terselubung.


Pendanaan eksternal seperti ini berpotensi menciptakan benturan kepentingan ketika calon yang didanai terpilih menjadi pejabat. Pada akhirnya, kondisi ini bisa mendorong terjadinya korupsi untuk memenuhi permintaan dari para penyandang dana tersebut.


Mengapa Calon Kepala Daerah Menerima Donasi?


Biaya kampanye pilkada tidaklah murah. Menurut penelitian Kementerian Dalam Negeri, untuk menjadi walikota atau bupati dibutuhkan dana sekitar Rp20 miliar hingga Rp30 miliar. Sementara itu, biaya untuk menjadi gubernur bisa melebihi Rp100 miliar.


Calon kepala daerah tidak mungkin menanggung biaya sebesar itu seorang diri. Berdasarkan penelitian Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) pada 2019, ada kesenjangan yang signifikan antara kekayaan pribadi calon dengan dana kampanye yang dibutuhkan. Bahkan, data Laporan Harta Kekayaan Penyelenggara Negara (LHKPN) menunjukkan bahwa beberapa pasangan calon pilkada 2015, 2017, dan 2018 memiliki kekayaan negatif.


Dana yang terkumpul biasanya dialokasikan untuk berbagai kebutuhan, seperti biaya sosialisasi, operasional, saksi, dan kampanye. Selain itu, ada biaya lain yang tinggi, seperti biaya "mahar politik," "serangan fajar," dan bantuan sosial. Ketiga jenis biaya terakhir ini termasuk dalam praktik politik uang, yang merupakan bentuk korupsi dalam politik.


Motivasi Penyandang Dana dalam Pilkada


Menganggap bahwa pemberian dana pilkada semata-mata didasari idealisme adalah terlalu naif. Sesuai dengan adagium "tidak ada makan siang gratis," penyandang dana biasanya berharap adanya timbal balik ekonomi di masa depan.


Meskipun Peraturan KPU menyatakan bahwa dana kampanye tidak boleh bersumber dari tindak pidana atau bersifat mengikat, realitasnya menunjukkan adanya kesepakatan politik antara penyandang dana dan calon kepala daerah. Penelitian KPK terhadap lebih dari 630 calon kepala daerah yang kalah dalam pilkada 2016-2018 menunjukkan adanya perjanjian lisan dan tertulis antara pemberi dana dan calon kepala daerah. Penyandang dana umumnya mengharapkan prioritas kebijakan dari kepala daerah yang mereka dukung.


Komitmen calon kepala daerah terhadap penyandang dana inilah yang berpotensi menimbulkan benturan kepentingan. Di satu sisi, kepala daerah harus memprioritaskan kesejahteraan masyarakat, sementara di sisi lain ada “utang budi” yang harus dibayar.


Ilustrasi penyumbang dana kampanye (Photo: Istimewa) 

Konflik Kepentingan dan Korupsi


Survei KPK pada 2020 menunjukkan bahwa 47 persen penyumbang dana mengharapkan imbalan dari politisi yang didukung. Sebaliknya, 65 persen calon kepala daerah menyatakan bahwa mereka akan memenuhi harapan penyumbang jika terpilih, dan 52 persen menganggap wajar menempatkan pendukung di posisi strategis dalam pemerintahan.


Motivasi penyumbang dana pilkada sangat bervariasi, namun semuanya berujung pada motif ekonomi. Mereka menginginkan kemudahan izin bisnis, akses dalam tender proyek pemerintah, keamanan dalam menjalankan usaha, hingga kemudahan mengarahkan kebijakan daerah. Pemberian dana pilkada dapat dianggap sebagai investasi untuk memperoleh keuntungan yang lebih besar.


Upaya Pencegahan Korupsi dalam Pilkada


Lingkaran setan ini menjadi salah satu alasan KPK terus menindak kepala daerah dan anggota parlemen yang terlibat korupsi. Sejak berdiri pada 2003, KPK telah menangkap lebih dari 300 anggota parlemen, 20 gubernur, 140 bupati/walikota, dan 30 menteri yang terlibat dalam kasus korupsi.


Diperlukan kesadaran bersama untuk memutus benturan kepentingan yang menghambat upaya pemberantasan korupsi di Indonesia. KPK menyadari pentingnya hal ini dan telah meluncurkan program Politik Cerdas Berintegritas (PCB) Terpadu 2022, yang diikuti oleh seluruh kader partai politik di Indonesia.


Melalui PCB Terpadu 2022, para kader partai akan mendapatkan pendidikan antikorupsi yang mengedepankan integritas. Harapannya, pemilu 2024 dapat berlangsung bersih dan bebas dari korupsi. (AR) 


×
Berita Terbaru Update