Notification

×

Kategori Berita

Cari Berita

Iklan

Iklan

Indeks Berita

Balai Pelestarian Kebudayaan Sulsel Tinjau Situs Cagar Budaya di Kampung Tua Saluk

Rabu, Juni 26, 2024 | 08.40 WIB Last Updated 2024-06-26T00:41:03Z

 

situs cagar budaya Masjid Tua Al-Ula' Saluk memiliki bangunan berbentuk persegi empat dengan atap tumpang tiga (Photo: Istimewa) 

Realitynews.web.id -- Kementerian Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi (Kemdikbudristek), melalui Direktorat Jenderal Kebudayaan, mengirim tim dari Balai Pelestarian Kebudayaan (BPK) Wilayah XIX Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara untuk meninjau beberapa situs cagar budaya di Kampung Tua Saluk, Desa Bontona Saluk, Kecamatan Bontomatene, Kepulauan Selayar.


Tim dari Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan terdiri dari empat orang, yaitu Pamong Budaya Ahli Madya Drs. Haeruddin, M.M., Pamong Budaya Ahli Pertama Abdur Rahim, S.H., serta Yusuf dan Darwis selaku Polisi Khusus Cagar Budaya.


Kepala Bidang Kebudayaan Dinas Pariwisata dan Kebudayaan Kepulauan Selayar, Andi Nur Samsi, S.Si, M.Si., bersama Pengurus Lembaga Adat Kaopuan Saluk Selayar (LAKSS), Andi Bissu Patinnah, S.Sos., turut mendampingi tim tersebut.


Tim dari Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan (Photo: Istimewa)

Drs. Haeruddin, M.M., Pamong Budaya Ahli Madya dari Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan, mengonfirmasi pada Pewarta, Senin (24/6/2024), bahwa peninjauan dilakukan berdasarkan surat dari LAKSS yang meminta pengecekan objek yang diduga sebagai cagar budaya di Desa Bontona Saluk, Kepulauan Selayar.


"Kami meninjau beberapa objek cagar budaya, termasuk Masjid Tua Al-Ula' Saluk, Rumah Adat 'Sapo Lohe' Bontona Saluk, Kompleks Makam Opu Bembeng, Kompleks Makam Opu Daeng Massese, dan tujuh sumur tua yang berada dalam satu kompleks," jelas Haeruddin.


Haeruddin mengungkapkan bahwa situs cagar budaya Masjid Tua Al-Ula' Saluk memiliki bangunan berbentuk persegi empat dengan atap tumpang tiga. "Model bangunan Masjid Tua Saluk ini mirip dengan masjid-masjid kuno di Pulau Jawa, seperti Masjid Katangka di Kabupaten Gowa dan Masjid Tua Gantarang Lalang Bata, Selayar," katanya.


Haeruddin menjelaskan bahwa ciri-ciri tersebut menandakan masjid itu sebagai masjid tua atau kuno, karena ada keseimbangan dalam bagian bangunannya. Menurutnya, bentuk Masjid Al-Markaz Al-Islami Makassar yang juga berbentuk segi empat dengan atap bertumpang terinspirasi dari masjid-masjid seperti ini.

Bedug Tua yang masih menandakan bahwa itu adalah salah satu tinggalan masa lalu yang digunakan untuk memanggil jemaah untuk melakukan shalat atau ibadah. (Photo: Istimewa)



Di Pulau Jawa, masjid beratap tumpang tiga memiliki makna filosofis mendalam. "Seseorang yang beriman perlu menapaki tiga tingkatan penting dalam keberagamaannya: Islam sebagai atap dasar, Iman sebagai atap tengah, dan Ihsan sebagai atap atas," ungkap Haeruddin.


Haeruddin menyatakan, meskipun Masjid Tua Saluk telah dipugar, desain dan dindingnya yang terbuat dari batu karang tetap dipertahankan. Bedug Tua di dalamnya menunjukkan bahwa masjid itu digunakan pada masa lalu untuk memanggil jemaah shalat.


Selain itu, ciri-ciri masjid kuno lainnya adalah lantai bangunan yang lebih tinggi dari jalan. "Setiap orang yang akan memasuki masjid harus melewati tangga. Ciri lainnya adalah adanya ruang publik atau alun-alun di sekitar masjid," jelas Haeruddin. "Hal ini juga dimiliki oleh Masjid Tua di Dusun Saluk," tambahnya.


Makan Kuno

Selanjutnya, Haeruddin bersama tim melakukan peninjauan ke Makam Opu Daeng Massese yang merupakan salah seorang tokoh yang dianggap oleh masyarakat mempunyai pengaruh yang sangat penting, utamanya terhadap pemerintahan lokal maupun terkait masalah penyiaran agama Islam.


"Jadi berdasarkan informasi, Opu Daeng Massese ini adalah selain pemimpin dengan pengaruhnya yang kuat, juga salah seorang penganjur agama Islam di daerah tersebut," tuturnya.


Tim kemudian melanjutkan peninjauan ke sebuah makam lainnya yang berada di sebuah lokasi diatas ketinggian. Dimana oleh masyarakat Saluk menyebutnya, Makam Opu Bembeng.


Haeruddin mengungkapkan apabila lokasi dan bentuk dari sebuah pemakaman berada diketinggian, maka hal itu menandakan bahwa lokasi tersebut adalah tempat yang suci dan tokoh yang tempatkan atau dimakamkan ditempat itu adalah tokoh penting dan berpengaruh, berwibawa serta memiliki kharisma yang kuat. Karenanya, kata dia, tokoh tersebut dimakamkan ditempat yang suci.


"Seluruh agama menganut kepercayaan bahwa tempat yang tinggi itu diartikan sebagai kesucian, keagungan dan ketinggian derajat. Kenapa kemudian seorang tokoh penting selalu dimakamkan diatas ketinggian atau tempat yang tinggi salah satu alasannya adalah untuk mencapai moksa atau nirwana," tutur Haeruddin.


Haeruddin menambahkan ia bersama tim melanjutkan peninjauan dan pengecekan terhadap 7 (tujuh) sumur tua yang jaraknya kira-kira sekitar 30 meter dibawah kemiringan lereng arah timur dari lokasi Makam Opu Bembeng. Sumur tersebut merupakan sumur tertua yang ada di Desa Bontoma Saluk.


"Sumur dan air adalah salah satu sumber kehidupan. Air adalah sesuatu yang vital dalam kehidupan manusia. Keberadaan sumur tua ini menjadi penanda bahwa ada peradaban pada masa lalu di salah satu kerajaan di Selayar ini," terang Haeruddin.


Lebih lanjut, Haeruddin mengatakan lokus terakhir peninjauan situs cagar budaya yakni rumah adat "Sapo Lohe" Bontona Saluk. Dia mengungkap Sapo Lohe merupakan peninggalan yang sangat mencirikan bahwa bangunan itu sebuah bangunan adat yang berbeda dari bangunan lainnya.


Hal itu, kata Haeruddin, dibuktikan dengan adanya ornamen-ornamen yang memang mencirikan bahwa yang mempunyai rumah tersebut adalah bukan orang biasa, melainkan punya pengaruh kuat diwilayah itu. Seperti adanya batu pelantikan (Batu Pallantikang, dalam Bahasa Selayar) disekitar rumah adat.


"Setelah kami tinjau, rumah adat Sapo Lohe sendiri, memiliki tiang sebanyak 36 buah. Ada beberapa tiang yang berbentuk segi delapan, dan yang lainnya segi empat. Dari 36 tiang itu sudah manjadi pertanda bahwa ini juga salah satu bangunan kuno yang perlu dilestarikan," jelas Haeruddin.


Untuk itu, Haeruddin selakunPamong Budaya Ahli Madya Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan, yang mewakili Kementerian Pendidikan, Dan Riset Dan Tekhnologi berharap kepada Pemerintah Daerah Kabupaten Kepulauan Selayar untuk memberikan perhatian dengan melakukan perlindungan dan pelestarian terhadap cagar budaya yang ada di Desa Bontona Saluk tersebut.


"Kami dari pihak Kementerian Pendidikan, Dan Riset Dan Teknologi Dirjen Kebudayaan dalam hal ini Balai Pelestarian Kebudayaan Wilayah XIX, Provinsi Sulawesi Selatan dan Sulawesi Tenggara berharap banyak kiranya pihak Pemerintah Dserah Kabupaten Kepulauan Selayar, sebagai pemilik cagar budaya tersebut untuk melakukan tindakan perlindungan dan pelestarian, karena dikhawatirkan cagar budaya tersebut rusak atau punah jika tidak diperhatikan," imbuh Haeruddin.


Dia mengatakan beberapa hal yang bisa dilakukan oleh Pemda Kepulauan Selayar dalam melakukan perlindungan dan pelestarian terhadap cagar budaya tersebut, misalnya dengan melakukan pemberian papan nama, papan informasi berdasarkan sejarah keberadaan cagar budaya tersebut.


"Bahkan jauh lebih bagus lagi jika Pemda Kepulauan Selayar menjadikan dan menetapkan Kampung Saluk sebagai Kawasan Cagar Budaya di Kepulauan Selayar," ucapnya.


Haeruddin menjelaskan bahwa berdasarkan kewenangan antara pemerintah pusat dan daerah, maka tugas pokok Balai Pelestarian Kebudayaan Sulawesi Selatan terkait cagar budaya telah diserahkan sepenuhnya kepada Pemda Kepulauan Selayar. Pihaknya kini hanya memiliki tugas melakukan pendataan situs cagar budaya untuk kemudian dimasukkan kedalam data base bahwa di Kepulauan Selayar ada beberapa cagar budaya yang perlu diperhatikan.


Oleh karena itu, Haeruddin menyebut bahwa yang paling utama adalah peran Pemda Kepulauan Selayar, karena pemda-lah yang sesungguhnya mempunyai dan memiliki situs itu. Pemda Selayar melalui Tenaga Ahli Cagar Budaya (TACB) dapat melakukan penilaian terhadap cagar budaya yang ada di Bontona Saluk.


"Untuk penetapan situs cagar budaya bukan lagi oleh Kemendikbud Ristek, tetapi sudah ditetapkan oleh Pemerintah Daerah melalui Surat Keputusan Bupati. Penetapannya tentu melalui sidang Tenaga Ahli Cagar Budaya, jika dianggap bersyarat maka para TACB ini akan memberikan rekomendasi kepada Bupati untuk dilakukan penetapan," pungkas Haeruddin, Pamong Budaya Ahli Madya Balai Pelestarian Kebudayaan Sulsel ini. (Tim)

×
Berita Terbaru Update